Terima kasih semoga biografi Biodata dan Profil . Memberikan manfaat bagi untuk anda dalam mengenal lebih banyak tokoh di dunia,Biografi Sastrawan Indonesia Chairil Anwar (1922 – 1949)
Chairil Anwar
dilahirkan di Medan, 26 Julai 1922. Dia dibesarkan dalam keluarga yang cukup
berantakan. Kedua ibu bapanya bercerai, dan ayahnya berkahwin lagi. Selepas
perceraian itu, saat habis SMA, Chairil mengikut ibunya ke Jakarta.
Semasa kecil di
Medan, Chairil sangat rapat dengan neneknya. Keakraban ini begitu memberi kesan
kepada hidup Chairil. Dalam hidupnya yang amat jarang berduka, salah satu
kepedihan terhebat adalah saat neneknya meninggal dunia. Chairil melukiskan
kedukaan itu dalam sajak yang luar biasa pedih:
Bukan kematian benar yang menusuk
kalbu/ Keridlaanmu menerima segala tiba/ Tak kutahu setinggi itu atas debu/ Dan
duka maha tuan bertahta
Sesudah nenek, ibu
adalah wanita kedua yang paling Chairil puja. Dia bahkan terbiasa membilang
nama ayahnya, Tulus, di depan sang Ibu, sebagai tanda menyebelahi nasib si ibu.
Dan di depan ibunya, Chairil acapkali kehilangan sisinya yang liar. Beberapa
puisi Chairil juga menunjukkan kecintaannya pada ibunya.
Sejak kecil,
semangat Chairil terkenal kedegilannya. Seorang teman dekatnya Sjamsul Ridwan,
pernah membuat suatu tulisan tentang kehidupan Chairil Anwar ketika semasa
kecil. Menurut dia, salah satu sifat Chairil pada masa kanak-kanaknya ialah
pantang dikalahkan, baik pantang kalah dalam suatu persaingan, maupun dalam
mendapatkan keinginan hatinya. Keinginan dan hasrat untuk mendapatkan itulah
yang menyebabkan jiwanya selalu meluap-luap, menyala-nyala, boleh dikatakan
tidak pernah diam.
Rakannya, Jassin
pun punya kenangan tentang ini. “Kami pernah bermain bulu tangkis bersama, dan
dia kalah. Tapi dia tak mengakui kekalahannya, dan mengajak bertanding terus.
Akhirnya saya kalah. Semua itu kerana kami bertanding di depan para gadis.”
Wanita adalah dunia
Chairil sesudah buku. Tercatat nama Ida, Sri Ayati, Gadis Rasyid, Mirat, dan
Roosmeini sebagai gadis yang dikejar-kejar Chairil. Dan semua nama gadis itu
bahkan masuk ke dalam puisi-puisi Chairil. Namun, kepada gadis Karawang,
Hapsah, Chairil telah menikahinya.
Pernikahan itu tak
berumur panjang. Disebabkan kesulitan ekonomi, dan gaya hidup Chairil yang tak
berubah, Hapsah meminta cerai. Saat anaknya berumur 7 bulan, Chairil pun
menjadi duda.
Tak lama setelah
itu, pukul 15.15 WIB, 28 April 1949, Chairil meninggal dunia. Ada beberapa
versi tentang sakitnya. Tapi yang pasti, TBC kronis dan sipilis.
Umur Chairil memang
pendek, 27 tahun. Tapi kependekan itu meninggalkan banyak hal bagi perkembangan
kesusasteraan Indonesia. Malah dia menjadi contoh terbaik, untuk sikap yang
tidak bersungguh-sungguh di dalam menggeluti kesenian. Sikap inilah yang
membuat anaknya, Evawani Chairil Anwar, seorang notaris di Bekasi, harus
meminta maaf, saat mengenang kematian ayahnya, di tahun 1999, “Saya minta maaf,
karena kini saya hidup di suatu dunia yang bertentangan dengan dunia Chairil
Anwar.”
BIOGRAFI W. S .
RENDRA
Willibrordus Surendra Broto Rendra (lahir Solo, 7 November 1935) adalah penyair ternama yang kerap dijuluki sebagai "Burung Merak". Ia mendirikan Bengkel Teater di Yogyakarta pada tahun 1967 dan juga Bengkel Teater Rendra di Depok. Semenjak masa kuliah beliau sudah aktif menulis cerpen dan esai di berbagai majalah
Rendra adalah anak dari pasangan R. Cyprianus Sugeng Brotoatmodjo dan Raden Ayu Catharina Ismadillah. Ayahnya adalah seorang guru Bahasa Indonesia dan Bahasa Jawa pada sekolah Katolik, Solo, di samping sebagai dramawan tradisional; sedangkan ibunya adalah penari serimpi di keraton Surakarta. Masa kecil hingga remaja Rendra dihabiskannya di kota kelahirannya itu.
Ia memulai pendidikannya dari TK (1942) hingga menyelesaikan sekolah menengah atasnya, SMA (1952), di sekolah Katolik, St. Yosef di kota Solo.
Setamat SMA Rendra pergi ke Jakarta dengan maksud bersekolah di Akademi Luar Negeri. Ternyata akademi tersebut telah ditutup. Lalu ia pergi ke Yogyakarta dan masuk ke Fakultas Sastra, Universitas Gajah Mada. Walaupun tidak menyelesaikan kuliahnya , tidak berarti ia berhenti untuk belajar. Pada tahun 1954 ia memperdalam pengetahuannya dalam bidang drama dan tari di Amerika, ia mendapat beasiswa dari American Academy of Dramatical Art (AADA). Ia juga mengikuti seminar tentang kesusastraan di Universitas Harvard atas undangan pemerintah setempat.
Bakat sastra Rendra sudah mulai terlihat ketika ia duduk di bangku SMP. Saat itu ia sudah mulai menunjukkan kemampuannya dengan menulis puisi, cerita pendek dan drama untuk berbagai kegiatan sekolahnya. Bukan hanya menulis, ternyata ia juga piawai di atas panggung. Ia mementaskan beberapa dramanya, dan terutama tampil sebagai pembaca puisi yang sangat berbakat.
Ia pertama kali mempublikasikan puisinya di media massa pada tahun 1952 melalui majalah Siasat. Setelah itu, puisi-puisinya pun lancar mengalir menghiasi berbagai majalah pada saat itu, seperti Kisah, Seni, Basis, Konfrontasi, dan Siasat Baru. Hal itu terus berlanjut seperti terlihat dalam majalah-majalah pada dekade selanjutnya, terutama majalah tahun 60-an dan tahun 70-an.
“Kaki Palsu” adalah drama pertamanya, dipentaskan ketika ia di SMP, dan “Orang-Orang di Tikungan Jalan” adalah drama pertamanya yang mendapat penghargaan dan hadiah pertama dari Kantor Wilayah Departemen Pendidikan dan Kebudayaan, Yogyakarta. Pada saat itu ia sudah duduk di SMA. Penghargaan itu membuatnya sangat bergairah untuk berkarya. Prof. A. Teeuw, di dalam bukunya Sastra Indonesia Modern II (1989), berpendapat bahwa dalam sejarah kesusastraan Indonesia modern Rendra tidak termasuk ke dalam salah satu angkatan atau kelompok seperti Angkatan 45, Angkatan 60-an, atau Angkatan 70-an. Dari karya-karyanya terlihat bahwa ia mempunyai kepribadian dan kebebasan sendiri.
Karya-karya Rendra tidak hanya terkenal di dalam negeri, tetapi juga di luar negeri. Banyak karyanya yang sudah diterjemahkan ke dalam bahasa asing, di antaranya bahasa Inggris, Belanda, Jerman, Jepang dan India.
Ia juga aktif mengikuti festival-festival di luar negeri, di antaranya The Rotterdam International Poetry Festival (1971 dan 1979), The Valmiki International Poetry Festival, New Delhi (1985), Berliner Horizonte Festival, Berlin (1985), The First New York Festival Of the Arts (1988), Spoleto Festival, Melbourne, Vagarth World Poetry Festival, Bhopal (1989), World Poetry Festival, Kuala Lumpur (1992), dan Tokyo Festival (1995).
Pada tahun 1961, sepulang dari Amerika Serikat, Rendra mendirikan grup teater di Yogyakarta. Akan tetapi, grup itu terhenti karena ia pergi lagi ke Amerika Serikat. Ketika kembali lagi ke Indonesia (1968), ia membentuk kembali grup teater yang bernama Bengkel Teater. Bengkel Teater ini sangat terkenal di Indonesia dan memberi suasana baru dalam kehidupan teater di tanah air. Sampai sekarang Bengkel Teater masih berdiri dan menjadi basis bagi kegiatan keseniannya.
Profesor Harry Aveling, seorang pakar sastra dari Australia yang besar perhatiannya terhadap kesusastraan Indonesia, telah membicarakan dan menerjemahkan beberapa bagian puisi Rendra dalam tulisannya yang berjudul “A Thematic History of Indonesian Poetry: 1920 to 1974”. Karya Rendra juga dibicarakan oleh seorang pakar sastra dari Jerman bernama Profesor Rainer Carle dalam bentuk disertasi yang berjudul Rendras Gedichtsammlungen (1957—1972): Ein Beitrag Zur Kenntnis der Zeitgenossichen Indonesischen Literatur. Verlag von Dietrich Reimer in Berlin: Hamburg 1977.
Untuk kegiatan seninya Rendra telah menerima banyak penghargaan, antara lain Hadiah Pertama Sayembara Penulisan Drama dari Bagian Kesenian Departemen Pendidikan dan Kebudayaan , Yogyakarta (1954) Hadiah Sastra Nasional BMKN (1956); Anugerah Seni dari Pemerintah Republik Indonesia (1970); Hadiah Akademi Jakarta (1975); Hadiah Yayasan Buku Utama, Departemen Pendidikan dan Kebudayaan (1976) ; Penghargaan Adam Malik (1989); The S.E.A. Write Award (1996) dan Penghargaan Achmad Bakri (2006).
Baru pada usia 24 tahun, ia menemukan cinta pertama pada diri Sunarti Suwandi. Dari wanita yang dinikahinya pada 31 Maret 1959 itu, Rendra mendapat lima anak: Teddy Satya Nugraha, Andreas Wahyu Wahyana, Daniel Seta, Samuel Musa, dan Klara Sinta. Satu di antara muridnya adalah Bendoro Raden Ayu Sitoresmi Prabuningrat, putri darah biru Keraton Yogyakarta, yang bersedia lebur dalam kehidupan spontan dan urakan di Bengkel Teater. Tugas Jeng Sito, begitu panggilan Rendra kepadanya, antara lain menyuapi dan memandikan keempat anak Rendra-Sunarti.
Ujung-ujungnya, ditemani Sunarti, Rendra melamar Sito untuk menjadi istri kedua, dan Sito menerimanya. Dia dinamis, aktif, dan punya kesehatan yang terjaga, tutur Sito tentang Rendra, kepada Kastoyo Ramelan dari Gatra. Satu-satunya kendala datang dari ayah Sito yang tidak mengizinkan putrinya, yang beragama Islam, dinikahi seorang pemuda Katolik. Tapi hal itu bukan halangan besar bagi Rendra. Ia yang pernah menulis litani dan mazmur, serta memerankan Yesus Kristus dalam lakon drama penyaliban Cinta dalam Luka, memilih untuk mengucapkan dua kalimat syahadat pada hari perkawinannya dengan Sito, 12 Agustus 1970, dengan saksi Taufiq Ismail dan Ajip Rosidi.
Peristiwa itu, tak pelak lagi, mengundang berbagai komentar sinis seperti Rendra masuk Islam hanya untuk poligami. Terhadap tudingan tersebut, Rendra memberi alasan bahwa ketertarikannya pada Islam sesungguhnya sudah berlangsung lama. Terutama sejak persiapan pementasan Kasidah Barzanji, beberapa bulan sebelum pernikahannya dengan Sito. Tapi alasan yang lebih prinsipil bagi Rendra, karena Islam bisa menjawab persoalan pokok yang terus menghantuinya selama ini: kemerdekaan individual sepenuhnya. Saya bisa langsung beribadah kepada Allah tanpa memerlukan pertolongan orang lain. Sehingga saya merasa hak individu saya dihargai, katanya sambil mengutip ayat Quran, yang menyatakan bahwa Allah lebih dekat dari urat leher seseorang.
Toh kehidupannya dalam satu atap dengan dua istri menyebabkan Rendra dituding sebagai haus publisitas dan gemar popularitas. Tapi ia menanggapinya dengan ringan saja. Seperti saat ia menjamu seorang rekannya dari Australia di Kebun Binatang Gembira Loka, Yogyakarta. Ketika melihat seekor burung merak berjalan bersama dua betinanya, Rendra berseru sambil tertawa terbahak-bahak, Itu Rendra! Itu Rendra!. Sejak itu, julukan Burung Merak melekat padanya hingga kini. Dari Sitoresmi, ia mendapatkan empat anak: Yonas Salya, Sarah Drupadi, Naomi Srikandi, dan Rachel Saraswati.
Sang Burung Merak kembali mengibaskan keindahan sayapnya dengan mempersunting Ken Zuraida, istri ketiga yang memberinya dua anak: Isaias Sadewa dan Maryam Supraba. Tapi pernikahan itu harus dibayar mahal karena tak lama sesudah kelahiran Maryam, Rendra menceraikan Sitoresmi pada 1979, dan Sunarti pada tahun 1981.
Beberapa Karya-karya dari W S Rendra:
A.DRAMA
Orang-orang di Tikungan Jalan (1954)
Orang-orang di Tikungan Jalan (1954)
SEKDA (1977)
Mastodon dan Burung
Kondor (1972)
Hamlet (terjemahan
dari karya William Shakespeare, dengan judul yang sama)
Macbeth (terjemahan dari karya William Shakespeare, dengan judul yang sama)
Oedipus Sang Raja (terjemahan dari karya Sophokles, aslinya berjudul "Oedipus Rex")
Kasidah Barzanji
Macbeth (terjemahan dari karya William Shakespeare, dengan judul yang sama)
Oedipus Sang Raja (terjemahan dari karya Sophokles, aslinya berjudul "Oedipus Rex")
Kasidah Barzanji
Perang Troya Tidak
Akan Meletus (terjemahan dari karya Jean Giraudoux asli dalam bahasa Prancis:
"La Guerre de Troie n'aura pas lieu")
B. SAJAK/PUISI
Jangan Takut Ibu
Balada Orang-Orang
Tercinta (Kumpulan sajak)
Empat Kumpulan
Sajak
Rick dari Corona
Potret Pembangunan
Dalam Puisi
Nyanyian Angsa
Pesan Pencopet
kepada Pacarnya
Rendra: Ballads and
Blues Poem (terjemahan)
Perjuangan Suku
Naga
Blues untuk Bonnie
Pamphleten van een
Dichter
State of Emergency
Sajak Seorang Tua
tentang Bandung Lautan Api
Mencari Bapak
Rumpun Alang-alang
Surat Cinta
Sajak Rajawali
Sajak Seonggok
Jagung
Pramoedya Ananta Toer lahir di Blora, Jawa Tengah
pada tanggal 6 Februari 1925. dia merupakan anak sulung dalam keluarganya.
Ayahnya adalah seorang guru, sedangkan ibunya berdagang nasi. Nama asli
Pramoedya adalah Pramoedya Ananta Mastoer, sebagaimana yang tertulis dalam
koleksi cerita pendek semi-otobiografinya yang berjudul Cerita Dari Blora.
Karena nama keluarga Mastoer (nama ayahnya) dirasakan terlalu aristokratik, ia
menghilangkan awalan Jawa "Mas" dari nama tersebut dan menggunakan
"Toer" sebagai nama keluarganya. Sebagai putra sulung tokoh Institut
Boedi Oetomo, Pram kecil malah tidak begitu cemerlang dalam pelajaran di
sekolahnya. Tiga kali tak naik kelas di Sekolah Dasar, membuat ayahnya
menganggap dirinya sebagai anak bodoh. Akibatnya, setelah lulus Sekolah Dasar
yang dijalaninya di bawah pengajaran keras ayahnya sendiri, sang ayah, Pak
Mastoer, menolak mendaftarkannya ke MULO (setingkat SLTP).
Ia pun melanjutkan pendidikan di sekolah telegraf (Radio Vakschool) Surabaya atas biaya ibunya. Biaya pas-pasan selama bersekolah di Surabaya juga hampir membuat Pram gagal di ujian praktik. Ketika itu, tanpa mempunyai peralatan, ia tetap mengikuti ujian tersebut namun dengan cara hanya berpura-pura sibuk di samping murid yang terpandai. Walau begitu, secara umum nilai-nilai Pram cukup baik dan ia pun lulus dari sekolah meski karena meletusnya perang dunia II di Asia, ijazahnya yang dikirim dari Bandung tak pernah ia terima. kemudian bekerja sebagai juru ketik untuk surat kabar Jepang di Jakarta selama pendudukan Jepang di Indonesia. Pada masa kemerdekaan Indonesia, ia mengikuti kelompok militer di Jawa dan kerap ditempatkan di Jakarta pada akhir perang kemerdekaan. Ia menulis cerpen serta buku di sepanjang karier militernya dan ketika dipenjara Belanda di Jakarta pada 1948 dan 1949. Pada 1950-an ia tinggal di Belanda sebagai bagian dari program pertukaran budaya, dan ketika kembali ke Indonesia ia menjadi anggota Lekra, salah satu organisasi sayap kiri di Indonesia. Gaya penulisannya berubah selama masa itu, sebagaimana yang ditunjukkan dalam karyanya Korupsi, fiksi kritik pada pamong praja yang jatuh di atas perangkap korupsi. Hal ini menciptakan friksi antara dia dan pemerintahan Soekarno.
Selama masa itu, ia mulai mempelajari penyiksaan terhadap Tionghoa Indonesia, kemudian pada saat yang sama, ia pun mulai berhubungan erat dengan para penulis di Tiongkok. Khususnya, ia menerbitkan rangkaian surat-menyurat dengan penulis Tionghoa yang membicarakan sejarah Tionghoa di Indonesia, berjudul Hoakiau di Indonesia. Ia merupakan kritikus yang tak mengacuhkan pemerintahan Jawa-sentris pada keperluan dan keinginan dari daerah lain di Indonesia, dan secara terkenal mengusulkan bahwa pemerintahan mesti dipindahkan ke luar Jawa. Pada 1960-an ia ditahan pemerintahan Soeharto karena pandangan pro-Komunis Tiongkoknya. Bukunya dilarang dari peredaran, dan ia ditahan tanpa pengadilan di Nusakambangan di lepas pantai Jawa, dan akhirnya di pulau Buru di kawasan timur Indonesia.
Ia dilarang menulis selama masa
penahanannya di Pulau Buru, namun tetap mengatur untuk menulis serial karya
terkenalnya yang berjudul Bumi Manusia, serial 4 kronik novel semi-fiksi
sejarah Indonesia. Tokoh utamanya Minke, bangsawan kecil Jawa, dicerminkan pada
pengalaman RM Tirto Adisuryo seorang tokoh pergerakkan pada zaman kolonial yang
mendirikan organisasi Sarekat Priyayi dan diakui oleh Pramoedya sebagai
organisasi nasional pertama. Jilid pertamanya dibawakan secara oral pada para
kawan sepenjaranya, dan sisanya diselundupkan ke luar negeri untuk dikoleksi
pengarang Australia dan kemudian diterbitkan dalam bahasa Inggris dan
Indonesia. Pramoedya dibebaskan dari tahanan pada 21 Desember 1979 dan
mendapatkan surat pembebasan secara hukum tidak bersalah dan tidak terlibat
G30S/PKI, tapi masih dikenakan tahanan rumah di Jakarta hingga 1992, serta
tahanan kota dan tahanan negara hingga 1999, dan juga wajib lapor satu kali seminggu
ke Kodim Jakarta Timur selama kurang lebih 2 tahun.
Selama masa itu ia menulis Gadis Pantai, novel semi-fiksi lainnya berdasarkan pengalaman neneknya sendiri. Ia juga menulis Nyanyi Sunyi Seorang Bisu (1995), otobiografi berdasarkan tulisan yang ditulisnya untuk putrinya namun tak diizinkan untuk dikirimkan, dan Arus Balik (1995). Edisi lengkap Nyanyi Sunyi Seorang Bisu diterjemahkan ke dalam bahasa Inggris oleh Willem Samuels, diterbitkan di Indonesia oleh Hasta Mitra bekerja sama dengan Yayasan Lontar pada 1999 dengan judul The Mute's Soliloquy: A Memoir
Ketika Pramoedya mendapatkan Ramon Magsaysay Award, 1995, diberitakan sebanyak 26 tokoh sastra Indonesia menulis surat 'protes' ke yayasan Ramon Magsaysay. Mereka tidak setuju, Pramoedya yang dituding sebagai "jubir sekaligus algojo Lekra paling galak, menghantam, menggasak, membantai dan mengganyang" pada masa demokrasi terpimpin, tidak pantas diberikan hadiah dan menuntut pencabutan penghargaan yang dianugerahkan kepada Pramoedya. Tetapi beberapa hari kemudian, Taufik Ismail sebagai pemrakarsa, meralat pemberitaan itu. Katanya, bukan menuntut 'pencabutan', tetapi mengingatkan 'siapa Pramoedya itu'. Katanya, banyak orang tidak mengetahui 'reputasi gelap' Pram dulu. Dan pemberian penghargaan Magsaysay dikatakan sebagai suatu kecerobohan. Tetapi di pihak lain, Mochtar Lubis malah mengancam mengembalikan hadiah Magsaysay yang dianugerahkan padanya di tahun 1958, jika Pram tetap akan dianugerahkan hadiah yang sama.
Lubis juga mengatakan, HB Jassin pun akan mengembalikan hadiah Magsaysay yang pernah diterimanya. Tetapi, ternyata dalam pemberitaan berikutnya, HB Jassin malah mengatakan yang lain sama sekali dari pernyataan Mochtar Lubis. Dalam berbagai opini-opininya di media, para penandatangan petisi 26 ini merasa sebagai korban dari keadaan pra-1965. Dan mereka menuntut pertanggungan jawab Pram, untuk mengakui dan meminta maaf akan segala peran 'tidak terpuji' pada 'masa paling gelap bagi kreativitas' pada zaman Demokrasi Terpimpin. Pram, kata Mochtar Lubis, memimpin penindasan sesama seniman yang tak sepaham dengannya.
Sementara Pramoedya sendiri menilai segala tulisan dan pidatonya pada masa pra-1965 itu tidak lebih dari 'golongan polemik biasa' yang boleh diikuti siapa saja. Dia menyangkal terlibat dalam pelbagai aksi yang 'kelewat jauh'. Dia juga merasa difitnah, ketika dituduh ikut membakar buku segala. Bahkan dia menyarankan agar perkaranya dibawa ke pengadilan saja jika memang materi cukup. Kalau tidak cukup, bawa ke forum terbuka, katanya, tetapi dengan ketentuan saya boleh menjawab dan membela diri, tambahnya. Semenjak Orde Baru berkuasa, Pramoedya tidak pernah mendapat kebebasan menyuarakan suaranya sendiri, dan telah beberapa kali dirinya diserang dan dikeroyok secara terbuka di koran. Tetapi dalam pemaparan pelukis Joko Pekik, yang juga pernah menjadi tahanan di Pulau Buru, ia menyebut Pramoedya sebagai 'juru-tulis'. Pekerjaan juru-tulis yang dimaksud oleh Joko Pekik adalah Pramoedya mendapat 'pekerjaan' dari petugas Pulau Buru sebagai tukang ketiknya mereka.
Bahkan menurut Joko Pekik, nasib Pramoedya lebih baik dari umumnya tahanan yang ada. Statusnya sebagai tokoh seniman yang oleh media disebar-luaskan secara internasional, menjadikan dia hidup dengan fasilitas yang lumayan - apalagi kalau ada tamu dari 'luar' yang datang pasti Pramoedya akan menjadi 'bintangnya'. Pramoedya telah menulis banyak kolom dan artikel pendek yang mengkritik pemerintahan Indonesia terkini. Ia menulis buku Perawan Remaja dalam Cengkraman Militer, dokumentasi yang ditulis dalam gaya menyedihkan para wanita Jawa yang dipaksa menjadi wanita penghibur selama masa pendudukan Jepang. Semuanya dibawa ke Pulau Buru di mana mereka mengalami kekerasan seksual, mengakhiri tinggal di sana daripada kembali ke Jawa. Pramoedya membuat perkenalannya saat ia sendiri merupakan tahanan politik di Pulau Buru selama masa 1970-an. Banyak dari tulisannya menyentuh tema interaksi antarbudaya; antara Belanda, kerajaan Jawa, orang Jawa secara umum,
dan Tionghoa. Banyak dari tulisannya
juga semi-otobiografi, di mana ia menggambar pengalamannya sendiri. Ia terus
aktif sebagai penulis dan kolumnis. Ia memperoleh Ramon Magsaysay Award untuk
Jurnalisme, Sastra, dan Seni Komunikasi Kreatif 1995. Ia juga telah
dipertimbangkan untuk Hadiah Nobel Sastra. Ia juga memenangkan Hadiah Budaya
Asia Fukuoka XI 2000 dan pada 2004 Norwegian Authors' Union Award untuk
sumbangannya pada sastra dunia. Ia menyelesaikan perjalanan ke Amerika Utara
pada 1999 dan memperoleh penghargaan dari Universitas Michigan.
Kisah asmara Pram juga tidak lepas dari pengaruh realitas kemiskinan yang bahkan masih jamak menghinggapi kehidupan para penulis dan seniman masa kini. Perkawinan pertamanya berakhir dengan perceraian dan diusirnya Pram dari rumah mertuanya karena hasil yang ia peroleh dari menulis yang belum menentu tak dapat menafkahi keluarganya. Sementara ia masih hidup tak menentu, suatu hari, meski tak memiliki uang sepeser pun, ia mengunjungi sebuah pameran buku pertama di Indonesia dan melihat salah seorang wanita penjaga stan yang menarik perhatiannya. Ia pun nekad datang dan berkenalan dengan wanita yang ternyata bernama Maemunah tersebut. Setiap hari ia berlama-lama menemani Maemunah duduk di stan itu layaknya seorang penjaga. Bahkan sampai ketika Presiden Soekarno juga mengunjungi dan melihat gadisnya tersebut, dengan bercanda ia gambarkan adegan itu sebagai "buaya kedahuluan buaya." Keteguhan dan pendekatannya pun membawa hasil, Maemunah terbukti adalah istri yang selalu tetap setia mendampinginya dalam segala suka duka mereka sampai sekarang.
Sampai akhir hayatnya ia aktif menulis, walaupun kesehatannya telah menurun akibat usianya yang lanjut dan kegemarannya merokok. Pada 12 Januari 2006, ia dikabarkan telah dua minggu terbaring sakit di rumahnya di Bojong Gede, Bogor, dan dirawat di rumah sakit. Menurut laporan, Pramoedya menderita diabetes, sesak napas dan jantungnya melemah. Pada 6 Februari 2006 di Teater Kecil Taman Ismail Marzuki, diadakan pameran khusus tentang sampul buku dari karya Pramoedya. Pameran ini sekaligus hadiah ulang tahun ke-81 untuk Pramoedya. Pameran bertajuk Pram, Buku dan Angkatan Muda menghadirkan sampul-sampul buku yang pernah diterbitkan di mancanegara. Ada sekitar 200 buku yang pernah diterjemahkan ke berbagai bahasa dunia.
Pada 27 April 2006, Pram sempat tak sadar diri. Pihak keluarga akhirnya memutuskan membawa dia ke RS Sint Carolus hari itu juga. Pram didiagnosis menderita radang paru-paru, penyakit yang selama ini tidak pernah menjangkitinya, ditambah komplikasi ginjal, jantung, dan diabetes. Pram hanya bertahan tiga hari di rumah sakit. Setelah sadar, dia kembali meminta pulang. Meski permintaan itu tidak direstui dokter, Pram bersikeras ingin pulang. Sabtu 29 April, sekitar pukul 19.00, begitu sampai di rumahnya, kondisinya jauh lebih baik. Meski masih kritis, Pram sudah bisa memiringkan badannya dan menggerak-gerakkan tangannya. Kondisinya sempat memburuk lagi pada pukul 20.00. Pram masih dapat tersenyum dan mengepalkan tangan ketika sastrawan Eka Budianta menjenguknya. Pram juga tertawa saat dibisiki para penggemar yang menjenguknya bahwa Soeharto masih hidup. Kondisi Pram memang sempat membaik, lalu kritis lagi. Pram kemudian sempat mencopot selang infus dan menyatakan bahwa dirinya sudah sembuh. Dia lantas meminta disuapi havermut dan meminta rokok. Tapi, tentu saja permintaan tersebut tidak diluluskan keluarga. Mereka hanya menempelkan batang rokok di mulut Pram tanpa menyulutnya. Kondisi tersebut bertahan hingga pukul 22.00.
Setelah itu, beberapa kali dia kembali mengalami masa kritis. Pihak keluarga pun memutuskan menggelar tahlilan untuk mendoakan Pram. Pasang surut kondisi Pram tersebut terus berlangsung hingga pukul 02.00. Saat itu, dia menyatakan agar Tuhan segera menjemputnya. "Dorong saja saya," ujarnya. Namun, teman-teman dan kerabat yang menjaga Pram tak lelah memberi semangat hidup. Rumah Pram yang asri tidak hanya dipenuhi anak, cucu, dan cicitnya. Tapi, teman-teman hingga para penggemarnya ikut menunggui Pram. Kabar meninggalnya Pram sempat tersiar sejak pukul 03.00. Tetangga-tetangga sudah menerima kabar duka tersebut. Namun, pukul 05.00, mereka kembali mendengar bahwa Pram masih hidup. Terakhir, ketika ajal menjemput, Pram sempat mengerang, "Akhiri saja saya. Bakar saya sekarang," katanya.
Pada 30 April 2006 pukul 08.55 Pramoedya wafat dalam usia 81 tahun. Ratusan pelayat tampak memenuhi rumah dan pekarangan Pram di Jalan Multikarya II No 26, Utan Kayu, Jakarta Timur. Pelayat yang hadir antara lain Sitor Situmorang, Erry Riyana Hardjapamekas, Nurul Arifin dan suami, Usman Hamid, Putu Wijaya, Goenawan Mohamad, Gus Solah, Ratna Sarumpaet, Budiman Sujatmiko, serta puluhan aktivis, sastrawan, dan cendekiawan. Hadir juga Menteri Kebudayaan dan Pariwisata Jero Wacik. Terlihat sejumlah karangan bunga tanda duka, antara lain dari KontraS, Wapres Jusuf Kalla, artis Happy Salma, pengurus DPD PDI Perjuangan, Dewan Kesenian Jakarta, dan lain-lain. Teman-teman Pram yang pernah ditahan di Pulau Buru juga hadir melayat. Temasuk para anak muda fans Pram. Jenazah dimandikan pukul 12.30 WIB, lalu disalatkan. Setelah itu, dibawa keluar rumah untuk dimasukkan ke ambulans yang membawa Pram ke TPU Karet Bivak. Terdengar lagu Internationale dan Darah Juang dinyanyikan di antara pelayat.
Biografi Taufiq Ismail
Taufiq Ismail
adalah seorang sastrawan ternama di Indonesia. Taufiq lahir di Bukittinggi,
Sumatera Barat 25 Juni 1935. Ia tumbuh dalam keluarga guru dan wartawan yang
suka membaca. Ia telah bercita-cita menjadi sastrawan sejak masih SMA. Masa
kanak-kanak sebelum sekolah dilalui di Pekalongan. Ia pertama masuk sekolah
rakyat di Solo. Selanjutnya, ia berpindah ke Semarang, Salatiga, dan menamatkan
sekolah rakyat
di Yogya. Ia masuk SMP di Bukittinggi, SMA di Bogor, dan kembali ke Pekalongan.
Biografi Taufiq Ismail
Pada tahun 1956–1957 ia
memenangkan beasiswa American Field Service Interntional School guna mengikuti
Whitefish Bay High School di Milwaukee, Wisconsin, AS, angkatan pertama dari
Indonesia.
Taufik Ismail
melanjutkan pendidikan
di Fakultas Kedokteran Hewan dan Peternakan, Universitas Indonesia
(sekarang IPB), dan tamat pada tahun1963. Pada tahun 1971–1972 dan 1991–1992 ia
mengikuti International Writing Program, University of Iowa, Iowa City, Amerika
Serikat. Ia juga belajar pada Faculty of Languange and Literature, American
University in Cairo, Mesir, pada tahun 1993. Karena pecah Perang Teluk, Taufiq
pulang ke Indonesia sebelum selesai studi bahasanya.
|
|
Semasa mahasiswa Taufiq Ismail
aktif dalam berbagai kegiatan. Tercatat, ia pernah menjadi Ketua Senat
Mahasiswa FKHP UI (1960–1961) dan Wakil Ketua Dewan Mahasiswa (1960–1962). Ia
pernah mengajar sebagai guru bahasa di SMA Regina Pacis, Bogor (1963-1965),
guru Ilmu Pengantar Peternakan di Pesantren Darul Fallah, Ciampea (1962), dan
asisten dosen Manajemen Peternakan Fakultas Peternakan, Universitas Indonesia
Bogor dan IPB (1961-1964). Karena menandatangani Manifes Kebudayaan, yang
dinyatakan terlarang oleh Presiden Soekarno, ia batal dikirim
untuk studi lanjutan ke Universitas Kentucky dan Florida. Ia kemudian dipecat
sebagai pegawai negeri pada tahun 1964.
Taufiq
menjadi kolumnis Harian KAMI pada tahun 1966-1970. Kemudian, Taufiq bersama
Mochtar Lubis, P.K. Oyong, Zaini, dan Arief Budiman mendirikan Yayasan
Indonesia, yang kemudian juga melahirkan majalah sastra Horison (1966). Sampai
sekarang ini ia memimpin majalah itu.
Taufiq merupakan salah
seorang pendiri Dewan Kesenian Jakarta (DKJ), Taman Ismail Marzuki (TIM), dan
Lembaga Pendidikan Kesenian Jakarta (LPKJ) (1968). Di ketiga lembaga itu Taufiq
mendapat berbagai tugas, yaitu Sekretaris Pelaksana DKJ, Pj. Direktur TIM, dan
Rektor LPKJ (1968–1978). Setelah berhenti dari tugas itu, Taufiq bekerja di
perusahaan swasta, sebagai Manajer Hubungan Luar PT Unilever Indonesia
(1978-1990).
Pada tahun 1993 Taufik
diundang menjadi pengarang tamu di Dewan Bahasa dan Pustaka, Kuala Lumpur,
Malaysia. Sebagai penyair,
Taufiq telah membacakan puisinya di berbagai tempat, baik di luar negeri maupun
di dalam negeri. Dalam setiap peristiwa yang bersejarah di Indonesia Taufiq
selalu tampil dengan membacakan puisi-puisinya, seperti jatuhnya Rezim Soeharto, peristiwa Trisakti,
dan peristiwa Pengeboman Bali.
Hasil karya:
- Tirani,
Birpen KAMI Pusat (1966)
- Benteng,
Litera ( 1966)
- Buku
Tamu Musium Perjuangan, Dewan Kesenian Jakarta (buklet baca puisi) (1972)
- Sajak
Ladang Jagung, Pustaka Jaya (1974)
- Kenalkan,
Saya Hewan (sajak anak-anak), Aries Lima (1976)
- Puisi-puisi
Langit, Yayasan Ananda (buklet baca puisi) (1990)
- Tirani
dan Benteng, Yayasan Ananda (cetak ulang gabungan) (1993)
- Prahara
Budaya (bersama D.S. Moeljanto), Mizan (1995)
- Ketika
Kata Ketika Warna (editor bersama Sutardji Calzoum Bachri, Hamid Jabbar,
Amri Yahya, dan Agus Dermawan, antologi puisi 50 penyair dan repoduksi
lukisan 50 pelukis, dua bahasa, memperingati ulangtahun ke-50 RI), Yayasan
Ananda (1995)
- Seulawah
— Antologi Sastra Aceh (editor bersama L.K. Ara dan Hasyim K.S.), Yayasan
Nusantara bekerjasama dengan Pemerintah Daerah Khusus Istimewa Aceh (1995)
- Malu
(Aku) Jadi Orang Indonesia, Yayasan Ananda (1998)
- Dari
Fansuri ke Handayani (editor bersama Hamid Jabbar, Herry Dim, Agus R.
Sarjono, Joni Ariadinata, Jamal D. Rahman, Cecep Syamsul Hari, dan Moh.
Wan Anwar, antologi sastra Indonesia dalam program SBSB 2001),
Horison-Kakilangit-Ford Foundation (2001)
- Horison
Sastra Indonesia, empat jilid meliputi Kitab Puisi (1), Kitab Cerita
Pendek (2), Kitab Nukilan Novel (3), dan Kitab Drama (4) (editor bersama
Hamid Jabbar, Agus R. Sarjono, Joni Ariadinata, Herry Dim, Jamal D.
Rahman, Cecep Syamsul Hari, dan Moh. Wan Anwar, antologi sastra Indonesia
dalam program SBSB 2000-2001, Horison-Kakilangit-Ford Foundation (2002)
Karya
terjemahan:
- Banjour
Tristesse (terjemahan novel karya Francoise Sagan, 1960)
- Cerita
tentang Atom (terjemahan karya Mau Freeman, 1962)
- Membangun
Kembali Pikiran Agama dalam Islam (dari buku The Reconstruction of
Religious Thought in Islam, M. Iqbal (bersama Ali Audah dan Goenawan
Mohamad), Tintamas (1964)
Atas
kerja sama dengan musisi sejak 1974, terutama dengan Himpunan Musik Bimbo
(Hardjakusumah bersaudara), Chrisye, Ian Antono, dan Ucok Harahap,
Taufiq telah menghasilkan sebanyak 75 lagu.
Ia
pernah mewakili Indonesia baca puisi dan festival sastra di 24 kota di Asia,
Amerika, Australia, Eropa, dan Afrika sejak 1970. Puisinya telah diterjemahkan
ke dalam bahasa Jawa, Sunda, Bali, Inggris, Prancis, Jerman, Rusia, dan Cina.
Kegiatan
kemasyarakatan yang dilakukannnya, antara lain menjadi pengurus perpustakaan
PII, Pekalongan (1954-56), bersama S.N. Ratmana merangkap sekretaris PII Cabang
Pekalongan, Ketua Lembaga Kesenian Alam Minangkabau (1984-86), Pendiri Badan
Pembina Yayasan Bina Antarbudaya (1985) dan kini menjadi ketuanya, serta
bekerja sama dengan badan beasiswa American Field Service, AS menyelenggarakan
pertukaran pelajar. Pada tahun 1974–1976 ia terpilih sebagai anggota Dewan
Penyantun Board of Trustees AFS International, New York.
Ia juga membantu LSM Geram (Gerakan Antimadat, pimpinan Sofyan Ali). Dalam kampanye antinarkoba ia menulis puisi dan lirik lagu “Genderang Perang Melawan Narkoba” dan “Himne Anak Muda Keluar dari Neraka” dan digubah Ian Antono). Dalam kegiatan itu, bersama empat tokoh masyarakat lain, Taufiq mendapat penghargaan dari Presiden Megawati (2002).
Kini Taufiq menjadi anggota Badan Pertimbangan Bahasa, Pusat Bahasa dan konsultan Balai Pustaka, di samping aktif sebagai redaktur senior majalah Horison.
Ia juga membantu LSM Geram (Gerakan Antimadat, pimpinan Sofyan Ali). Dalam kampanye antinarkoba ia menulis puisi dan lirik lagu “Genderang Perang Melawan Narkoba” dan “Himne Anak Muda Keluar dari Neraka” dan digubah Ian Antono). Dalam kegiatan itu, bersama empat tokoh masyarakat lain, Taufiq mendapat penghargaan dari Presiden Megawati (2002).
Kini Taufiq menjadi anggota Badan Pertimbangan Bahasa, Pusat Bahasa dan konsultan Balai Pustaka, di samping aktif sebagai redaktur senior majalah Horison.
Anugerah
yang diterima:
- Anugerah
Seni dari Pemerintah RI (1970)
- Cultural
Visit Award dari Pemerintah Australia (1977)
- South
East Asia (SEA) Write Award dari Kerajaan Thailand (1994)
- Penulisan
Karya Sastra dari Pusat Bahasa (1994)
- Sastrawan
Nusantara dari Negeri Johor, Malaysia (1999)
- Doctor
honoris causa dari Universitas Negeri Yogyakarta (2003)
Taufiq Ismail
menikah dengan Esiyati Yatim pada tahun 1971 dan dikaruniai seorang anak
laki-laki, Bram Ismail. Bersama keluarga ia tinggal di Jalan Utan Kayu
Raya 66-E, Jakarta 13120
Ia sudah menulis kurang lebih 30 novel, 40 naskah drama, sekitar seribu cerpen, ratusan esei, artikel lepas, dan kritik drama. Ia juga menulis skenario film dan sinetron. Sebagai dramawan, ia memimpin Teater Mandiri sejak 1971, dan telah mementaskan puluhan lakon di dalam maupun di luar negeri. Puluhan penghargaan ia raih atas karya sastra dan skenario sinetron. Harian Kompas dan Sinar Harapan kerap memuat cerita pendeknya. Novelnya sering muncul di majalah Kartini, Femina, dan Horison. Memenangkan lomba penulisan fiksi baginya sudah biasa. Sebagai penulis skenario, ia dua kali meraih piala Citra di Festival Film Indonesia (FFI), untuk Perawan Desa (1980), dan Kembang Kertas (1985). Sebagai penulis fiksi sudah banyak buku yang dihasilkannya. Di antaranya, yang banyak diperbincangkan: Bila Malam Bertambah Malam, Telegram, Pabrik, Keok, Tiba-Tiba Malam, Sobat, Nyali.
Namanya I Gusti Ngurah Putu Wijaya yang biasa disebut Putu Wijaya. Tidak sulit untuk mengenalinya karena topi pet putih selalu bertengger di kepalanya. Kisahnya, pada ngaben ayahnya di Bali, kepalanya digundul. Kembali ke Jakarta, selang beberapa lama, rambutnya tumbuh tapi tidak sempurna, malah mendekati botak. Karena itu, ia selalu memakai topi. "Dengan ini saya terlihat lebih gagah," tutur Putu sambil bercanda.
Putu yang dilahirkan di Puri Anom, Tabanan, Bali pada tanggal 11 April 1944, bukan dari keluarga seniman. Ia bungsu dari lima bersaudara seayah maupun dari tiga bersaudara seibu. Ia tinggal di kompleks perumahan besar, yang dihuni sekitar 200 orang, yang semua anggota keluarganya dekat dan jauh, dan punya kebiasaan membaca. Ayahnya, I Gusti Ngurah Raka, seorang pensiunan punggawa yang keras dalam mendidik anak. Semula, ayahnya mengharapkan Putu jadi dokter. Namun, Putu lemah dalam ilmu pasti. Ia akrab dengan sejarah, bahasa, dan ilmu bumi.
Semasa di SD, ''Saya doyan sekali membaca,'' tuturnya, ''Mulai dari karangan Karl May, buku sastra Komedi Manusia-nya William Saroyan, sampai cerita picisan yang merangsang berahi. Sejak kecil, saya juga senang sekali seni pertunjukan. Mungkin sudah merupakan bakat, senang pada seni laku," ujarnya mengenang.
Meskipun demikian, ia tak pernah
diikutkan main drama semasih kanak-kanak, juga ketika SMP. Baru setelah menang
lomba deklamasi, ia diikutkan main drama perpisahan SMA, yang diarahkan oleh
Kirdjomuljo, penyair dan sutradara ternama di Yogyakarta. Ia pertama kali
berperan dalam Badak, karya Anton Chekov. "Sejak itu saya senang sekali
pada drama," kenang Putu Setelah selesai sekolah menengah atas, ia melanjutkan
kuliahnya di Yogyakarta, kota seni dan budaya. Di Yogyakarta, selain kuliah di
Fakultas Hukum, UGM, ia juga mempelajari seni lukis di Akademi Seni Rupa
Indonesia (ASRI), drama di Akademi Seni Drama dan Film (Asdrafi), dan
meningkatkan kegiatannya bersastra. Dari Fakultas Hukum, UGM, ia meraih gelar
sarjana hukum (1969), dari Asdrafi ia gagal dalam penulisan skripsi, dan dari
kegiatan berkesenian ia mendapatkan identitasnya sebagai seniman.
Selama bermukim di Yogyakarta, kegiatan sastranya lebih terfokus pada teater. Ia pernah tampil bersama Bengkel Teater pimpinan W.S. Rendra dalam beberapa pementasan, antara lain dalam pementasan Bip-Bop (1968) dan Menunggu Godot (1969). Ia juga pernah tampil bersama kelompok Sanggar Bambu. Selain itu, ia juga (telah berani) tampil dalam karyanya sendiri yang berjudul Lautan Bernyanyi (1969). Ia adalah penulis naskah sekaligus sutradara pementasan itu. Naskah dramanya itu menjadi pemenang ketiga Sayembara Penulisan Lakon yang diselenggarakan oleh Badan Pembina Teater Nasional Indonesia. Setelah kira-kira tujuh tahun tinggal di Yogyakarta, Putu pindah ke Jakarta. Di Jakarta ia bergabung dengan Teater Kecil asuhan sutradara ternama Arifin C. Noer dan Teater Populer. Di samping itu, ia juga bekerja sebagai redaktur majalah Ekspres (1969). Setelah majalah itu mati, ia menjadi redaktur majalah Tempo (1971-1979). Bersama rekan-rekannya di majalah Tempo, Putu mendirikan Teater Mandiri (1974). "Saya perlu bekerja jadi wartawan untuk menghidupi keluarga saya. Juga karena saya tidak mau kepengarangan saya terganggu oleh kebutuhan mencari makan," tutur Putu.
Pada saat masih bekerja di majalah Tempo, ia mendapat beasiswa belajar drama (Kabuki) di Jepang (1973) selama satu tahun. Namun, karena tidak kerasan dengan lingkungannya, ia belajar hanya sepuluh bulan. Setelah itu, ia kembali aktif di majalah Tempo. Pada tahun 1974, ia mengikuti International Writing Program di Iowa, Amerika Serikat. Sebelum pulang ke Indonesia, mampir di Prancis, ikut main di Festival Nancy.
Putu mengaku belajar banyak dari
Tempo dan Goenawan Mohamad. "Yang melekat di kepala saya adalah bagaimana
menulis sesuatu yang sulit menjadi mudah. Menulis dengan gaya orang bodoh,
sehingga yang mengerti bukan hanya menteri, tapi juga tukang becak. Itulah gaya
Tempo," ungkap Putu. Ia juga membiasakan diri dengan tenggat - suatu
siksaan bagi kebanyakan pengarang. Dari Tempo, Putu pindah ke majalah Zaman
(1979-1985), dan ia tetap produktif menulis cerita pendek, novel, lakon, dan
mementaskannya lewat Teater Mandiri, yang dipimpinnya. Di samping itu, ia
mengajar pula di Akademi Teater, Institut Kesenian Jakarta (IKJ).Ia mempunyai
pengalaman bermain drama di luar negeri, antara lain dalam Festival Teater
Sedunia di Nancy, Prancis (1974) dan dalam Festival Horizonte III di Berlin
Barat, Jerman (1985). Ia juga membawa Teater Mandiri berkeliling Amerika dalam
pementasan drama Yel dan berpentas di Jepang (2001).
Karena kegiatan sastranya lebih
menonjol pada bidang teater, Putu Wijaya pun lebih dikenal sebagai dramawan.
Sebenarnya, selain berteater ia juga menulis cerpen dan novel dalam jumlah yang
cukup banyak, di samping menulis esai tentang sastra. Sejumlah karyanya, baik
drama, cerpen, maupun novel telah diterjemahkan ke dalam bahasa asing, antara
lain bahasa Inggris, Belanda, Prancis, Jerman, Jepang, Arab, dan Thailand.
Gaya Putu menulis novel tidak
berbeda jauh dengan gayanya menulis drama. Seperti dalam karya dramanya, dalam
novelnya pun ia cenderung mempergunakan gaya objektif dalam pusat pengisahan
dan gaya stream of consciousness dalam pengungkapannya - penuh
potongan-potongan kejadian yang padat, intens dalam pelukisan, ekspresif
bahasanya. Ia lebih mementingkan perenungan ketimbang riwayat.
Adapun konsep teaternya adalah teror mental. Baginya, teror adalah pembelotan, pengkhianatan, kriminalitas, tindakan subversif terhadap logika - tapi nyata. Teror tidak harus keras, kuat, dahsyat, menyeramkan; bahkan bisa berbisik, mungkin juga sama sekali tidak berwarna.Ia menegaskan, ''teater bukan sekadar bagian dari kesusastraan, melainkan suatu tontonan.'' Naskah sandiwaranya tidak dilengkapi petunjuk bagaimana harus dipentaskan. Agaknya, memberi kebebasan bagi sutradara lain menafsirkan. Bila menyinggung problem sosial, karyanya tanpa protes, tidak mengejek, juga tanpa memihak. Tiap adegan berjalan tangkas, kadang meletup, diseling humor.Mungkin ini cerminan pribadinya. Individualitasnya kuat, dan berdisiplin tinggi.
Saat ditanya pemikiran pengarang
yang sehari bisa mengarang cerita 30 halaman, menulis empat artikel dalam satu
hari ini tentang tulis menulis, Putu menjawab, ''Menulis adalah menggorok leher
tanpa menyakiti,'' katanya, ''bahkan kalau bisa tanpa diketahui.'' Kesenian
diibaratkannya seperti baskom, penampung darah siapa saja atau apa pun yang
digorok: situasi, problematik, lingkungan, misteri, dan berbagai makna yang
berserak. ''Kesenian,'' katanya, ''merupakan salah satu alat untuk mencurahkan
makna, agar bisa ditumpahkan kepada manusia lain secara tuntas.''
"Saya sangat percaya pada insting," kata Putu tentang caranya menulis. "Ketika menulis, saya tidak mempunyai bahan apa-apa. Semua datang begitu saja ketika di depan komputer," katanya lagi. Ia percaya bahwa ada satu galaksi dalam otak yang tidak kita mengerti cara kerjanya. Tapi, menurut Putu, itu bukan peristiwa mistik, apalagi tindak kesurupan. Selain menekuni dunia teater dan menulis, Putu juga menjadi sutradara film dan sinetron serta menulis skenario sinetron. Film yang disutradarainya ialah film Cas Cis Cus, Zig Zag, dan Plong. Sinetron yang disutradarainya ialah Dukun Palsu, PAS, None, Warteg, dan Jari-Jari. Skenario yang ditulisnya ialah Perawan Desa, Kembang Kertas, serta Ramadhan dan Ramona. Ketiga skenario itu memenangkan Piala Citra.
Pada 1977, ia menikah dengan Renny Retno Yooscarini alias Renny Djajusman yang dikaruniai seorang anak, Yuka Mandiri. ''Sebelum menikah saya menulis Sah, ee, saya mengalami persis seperti yang saya tulis,'' ujarnya. ''Pernikahan saya bubar pada 1984.'' Tetapi ia tidak lama menduda. Pertengahan 1985, ia menikahi gadis Sunda, Dewi Pramunawati, karyawati majalah Medika. Bersama Dewi, Putu Wijaya selanjutnya hidup di Amerika Serikat selama setahun.
Atas undangan Fulbright, 1985-1988, ia menjadi dosen tamu teater dan sastra Indonesia modern di Universitas Wisconsin dan Universitas Illinois, AS. Atas undangan Japan Foundation, Putu menulis novel di Kyoto, Jepang, 1992. Setelah lama berikhtiar - walau dokter di Amerika mendiagnosis Putu tak bakal punya anak lagi - pada 1996, pasangan ini dikaruniai seorang anak, Taksu.Rumah tangga baginya sebuah "perusahaan". Apa pun diputuskan berdasarkan pertimbangan istri dan anak, termasuk soal pekerjaan. Soal pendidikan anak, "Saya tidak punya cara," ujar Putu. Anak dianggap sebagai teman, kadang diajak berunding, kadang dimarahi. Dan, kata Putu, "Saya tidak mengharapkan ia menjadi apa, saya hanya memberikan kesempatan saja."
"Saya sangat percaya pada insting," kata Putu tentang caranya menulis. "Ketika menulis, saya tidak mempunyai bahan apa-apa. Semua datang begitu saja ketika di depan komputer," katanya lagi. Ia percaya bahwa ada satu galaksi dalam otak yang tidak kita mengerti cara kerjanya. Tapi, menurut Putu, itu bukan peristiwa mistik, apalagi tindak kesurupan. Selain menekuni dunia teater dan menulis, Putu juga menjadi sutradara film dan sinetron serta menulis skenario sinetron. Film yang disutradarainya ialah film Cas Cis Cus, Zig Zag, dan Plong. Sinetron yang disutradarainya ialah Dukun Palsu, PAS, None, Warteg, dan Jari-Jari. Skenario yang ditulisnya ialah Perawan Desa, Kembang Kertas, serta Ramadhan dan Ramona. Ketiga skenario itu memenangkan Piala Citra.
Pada 1977, ia menikah dengan Renny Retno Yooscarini alias Renny Djajusman yang dikaruniai seorang anak, Yuka Mandiri. ''Sebelum menikah saya menulis Sah, ee, saya mengalami persis seperti yang saya tulis,'' ujarnya. ''Pernikahan saya bubar pada 1984.'' Tetapi ia tidak lama menduda. Pertengahan 1985, ia menikahi gadis Sunda, Dewi Pramunawati, karyawati majalah Medika. Bersama Dewi, Putu Wijaya selanjutnya hidup di Amerika Serikat selama setahun.
Atas undangan Fulbright, 1985-1988, ia menjadi dosen tamu teater dan sastra Indonesia modern di Universitas Wisconsin dan Universitas Illinois, AS. Atas undangan Japan Foundation, Putu menulis novel di Kyoto, Jepang, 1992. Setelah lama berikhtiar - walau dokter di Amerika mendiagnosis Putu tak bakal punya anak lagi - pada 1996, pasangan ini dikaruniai seorang anak, Taksu.Rumah tangga baginya sebuah "perusahaan". Apa pun diputuskan berdasarkan pertimbangan istri dan anak, termasuk soal pekerjaan. Soal pendidikan anak, "Saya tidak punya cara," ujar Putu. Anak dianggap sebagai teman, kadang diajak berunding, kadang dimarahi. Dan, kata Putu, "Saya tidak mengharapkan ia menjadi apa, saya hanya memberikan kesempatan saja."
Kini, penggemar musik dangdut, rock, klasik karya Bach atau Vivaldi dan jazz ini total hanya menulis, menyutradarai film dan sinetron, serta berteater. Dalam bekerja ia selalu diiringi musik. Olahraganya senam tenaga prana Satria Nusantara. "Sekarang saya sudah sampai pada tahap bahwa kesenian merupakan upaya dan tempat berekspresi sekaligus pekerjaan," ujar Putu
BIOGRAFI BUYA HAMKA
Buya Hamka
lahir pada tahun 1908 di desa kampung Molek, Meninjau, Sumatera Barat, HAMKA
sendiri merupakan singkatan dari nama beliau yakni Haji Abdul Malik Karim
Amrullah, Hamka merupakan putra dari Syekh Abdul Karim bin Amrullah, yg
juga merupakan ulama di tanah minang, diawali bekerja sebagai guru agama pada
tahun 1927 di Perkebunan Tebing Tinggi, Medan dan guru agama di Padang Panjang
pada tahun 1929. Hamka kemudian dilantik sebagai dosen di Universitas Islam,
Jakarta dan Universitas Muhammadiyah, Padang Panjang dari tahun 1957 hingga
tahun 1958.
Setelah itu, beliau diangkat menjadi rektor Perguruan Tinggi Islam, Jakarta dan Profesor Universitas Mustopo, Jakarta. Dari tahun 1951 hingga tahun 1960, beliau menjabat sebagai Pegawai Tinggi Agama oleh Menteri Agama Indonesia, tetapi meletakkan jabatan itu ketika Sukarno menyuruhnya memilih antara menjadi pegawai negeri atau bergiat dalam politik Majelis Syuro Muslimin Indonesia (Masyumi). Buya Hamka merupakan sosok otodidak dalam berbagai bidang ilmu pengetahuan seperti filsafat, sastra, sejarah, sosiologi dan politik, baik Islam maupun Barat. Dengan kemahiran bahasa Arabnya yang tinggi, beliau dapat menyelidiki karya ulama dan pujangga besar di Timur Tengah seperti Zaki Mubarak, Jurji Zaidan, Abbas al-Aqqad, Mustafa al-Manfaluti, dan Hussain Haikal. Melalui bahasa Arab juga, beliau meneliti karya sarjana Perancis, Inggris dan Jerman, beliau juga rajin membaca dan bertukar-tukar pikiran dengan tokoh-tokoh terkenal Jakarta seperti HOS Tjokroaminoto, Raden Mas Soerjopranoto, Haji Fachrudin, AR Sutan Mansur, dan Ki Bagus Hadikusumo sambil mengasah bakatnya sehingga menjadi seorang ahli pidato yang andal.
Hamka aktif dalam Muhammadiyah, terpilih menjadi ketua Majlis Pimpinan Muhammadiyah di Sumatera Barat oleh Konferensi Muhammadiyah, menggantikan S.Y. Sutan Mangkuto pada tahun 1946. Pada tahun 1953, Hamka dipilih sebagai penasihat pimpinan Pusat Muhammadiah. Pada 26 Juli 1977, Menteri Agama Indonesia, Prof. Dr. Mukti Ali melantik Hamka sebagai ketua umum Majelis Ulama Indonesia tetapi beliau kemudiannya mengundurkan diri pada tahun 1981 karena nasihatnya tidak dipedulikan oleh pemerintah Indonesia.
beliau juga wartawan, penulis, editor, dan penerbit. Sejak tahun 1920-an, Hamka menjadi wartawan beberapa buah surat kabar seperti Pelita Andalas, Seruan Islam, Bintang Islam, dan Seruan Muhammadiyah. Pada tahun 1928, beliau menjadi editor majalah Kemajuan Masyarakat. Pada tahun 1932, beliau menjadi editor dan menerbitkan majalah al-Mahdi di Makassar. Hamka juga pernah menjadi editor majalah Pedoman Masyarakat, Panji Masyarakat, dan Gema Islam. Hamka juga menghasilkan karya ilmiah Islam dan karya kreatif seperti novel dan cerpen. Karya ilmiah terbesarnya ialah Tafsir al-Azhar dan antara novel-novelnya yang mendapat perhatian umum dan menjadi buku teks sastera di Malaysia dan Singapura termasuklah Tenggelamnya Kapal Van Der Wijck, Di Bawah Lindungan Ka'bah, dan Merantau ke Deli.
karya- karya buya HAMKA
- Khatibul Ummah, Jilid 1-3.
Ditulis dalam huruf Arab.
- Si Sabariah. (1928)
- Pembela Islam (Tarikh Saidina
Abu Bakar Shiddiq),1929.
- Adat Minangkabau dan agama
Islam (1929).
- Ringkasan tarikh Ummat Islam
(1929).
- Kepentingan melakukan tabligh
(1929).
- Hikmat Isra' dan Mikraj.
- Arkanul Islam (1932) di
Makassar.
- Laila Majnun (1932) Balai
Pustaka.
- Majallah 'Tentera' (4 nomor)
1932, di Makassar.
- Majallah Al-Mahdi (9 nomor)
1932 di Makassar.
- Mati mengandung malu (Salinan
Al-Manfaluthi) 1934.
- Di Bawah Lindungan Ka'bah
(1936) Pedoman Masyarakat,Balai Pustaka.
- Tenggelamnya Kapal Van Der
Wijck (1937), Pedoman Masyarakat, Balai Pustaka.
- Di Dalam Lembah Kehidupan 1939,
Pedoman Masyarakat, Balai Pustaka.
- Merantau ke Deli (1940),
Pedoman Masyarakat, Toko Buku Syarkawi.
- Margaretta Gauthier
(terjemahan) 1940.
- Tuan Direktur 1939.
- Dijemput mamaknya,1939.
- Keadilan Ilahy 1939.
- Tashawwuf Modern 1939.
- Falsafah Hidup 1939.
- Lembaga Hidup 1940.
- Lembaga Budi 1940.
- Majallah 'SEMANGAT ISLAM'
(Zaman Jepang 1943).
- Majallah 'MENARA' (Terbit di
Padang Panjang), sesudah revolusi 1946.
- Negara Islam (1946).
- Islam dan Demokrasi,1946.
- Revolusi Pikiran,1946.
- Revolusi Agama,1946.
- Adat Minangkabau menghadapi
Revolusi,1946.
- Dibantingkan ombak
masyarakat,1946.
- Didalam Lembah cita-cita,1946.
- Sesudah naskah Renville,1947.
- Pidato Pembelaan Peristiwa Tiga
Maret,1947.
- Menunggu Beduk berbunyi,1949 di
Bukittinggi,Sedang Konperansi Meja Bundar.
- Ayahku,1950 di Jakarta.
- Mandi Cahaya di Tanah Suci.
1950.
- Mengembara Dilembah Nyl. 1950.
- Ditepi Sungai Dajlah. 1950.
- Kenangan-kenangan hidup
1,autobiografi sejak lahir 1908 sampai pd tahun 1950.
- Kenangan-kenangan hidup 2.
- Kenangan-kenangan hidup 3.
- Kenangan-kenangan hidup 4.
- Sejarah Ummat Islam Jilid
1,ditulis tahun 1938 diangsur sampai 1950.
- Sejarah Ummat Islam Jilid 2.
- Sejarah Ummat Islam Jilid 3.
- Sejarah Ummat Islam Jilid 4.
- Pedoman Mubaligh Islam,Cetakan
1 1937 ; Cetakan ke 2 tahun 1950.
- Pribadi,1950.
- Agama dan perempuan,1939.
- Muhammadiyah melalui 3
zaman,1946,di Padang Panjang.
- 1001 Soal Hidup (Kumpulan
karangan dr Pedoman Masyarakat, dibukukan 1950).
- Pelajaran Agama Islam,1956.
- Perkembangan Tashawwuf dr abad
ke abad,1952.
- Empat bulan di Amerika,1953
Jilid 1.
- Empat bulan di Amerika Jilid 2.
- Pengaruh ajaran Muhammad Abduh
di Indonesia (Pidato di Kairo 1958), utk Doktor Honoris Causa.
- Soal jawab 1960, disalin dari
karangan-karangan Majalah GEMA ISLAM.
- Dari Perbendaharaan Lama, 1963
dicetak oleh M. Arbie, Medan; dan 1982 oleh Pustaka Panjimas, Jakarta.
- Lembaga Hikmat,1953 oleh Bulan
Bintang, Jakarta.
- Islam dan Kebatinan,1972; Bulan
Bintang.
- Fakta dan Khayal Tuanku Rao,
1970.
- Sayid Jamaluddin Al-Afhany
1965, Bulan Bintang.
- Ekspansi Ideologi (Alghazwul
Fikri), 1963, Bulan Bintang.
- Hak Asasi Manusia dipandang
dari segi Islam 1968.
- Falsafah Ideologi Islam
1950(sekembali dr Mekkah).
- Keadilan Sosial dalam Islam
1950 (sekembali dr Mekkah).
- Cita-cita kenegaraan dalam
ajaran Islam (Kuliah umum) di Universiti Keristan 1970.
- Studi Islam 1973, diterbitkan
oleh Panji Masyarakat.
- Himpunan Khutbah-khutbah.
- Urat Tunggang Pancasila.
- Doa-doa Rasulullah S.A.W,1974.
- Sejarah Islam di Sumatera.
- Bohong di Dunia.
- Muhammadiyah di Minangkabau
1975,(Menyambut Kongres Muhammadiyah di Padang).
- Pandangan Hidup Muslim,1960.
- Kedudukan perempuan dalam Islam,1973
Biografi Sastrawan
Adinegoro
Adinegoro
lahir di Talawi, Sumatera Barat, pada tanggal 14 Agustus 1904. Nama aslinya
sebenarnya bukan Adinegoro, melainkan Djamaluddin gelar Datuk Madjo Sutan. Ia
adalah adik sastrawan Muhammad Yamin. Mereka saudara satu bapak, tetapi lain
ibu. Ayah Adinegoro bernama Usman gelar Baginda Chatib dan ibunya bernama Sadarijah,
sedangkan nama ibu Muhammad Yamin adalah Rohimah.
Adinegoro terpaksa memakai nama samaran karena ketika bersekolah di Stovia ia tidak diperbolehkan menulis. Padahal, pada saat itu keinginannya menulis sangat tinggi. Dengan demikian, dipakainyalah nama samaran Adinegoro tersebut sebagai identitasnya yang baru. Ia pun dapat menyalurkan keinginannya untuk memublikasikan tulisannya tanpa diketahui orang bahwa Adinegoro itu adalah Djamaluddin gelar Datuk Madjo. Oleh karena itulah, nama Adinegoro sebagai sastrawan lebih terkenal daripada nama aslinya, Djamaluddin.
Pendidikan Sastrawan
Adinegoro
Adinegoro
sempat mengenyam pendidikan selama empat tahun di Berlin, Jerman Timur. Ia
mendalami masalah jurnalistik di negara itu. Selain itu, ia juga mempelajari
masalah kartografi, geografi politik, dan geopolitik. Pengalaman belajar di
Jerman itu sangat banyak menambah pengetahuan dan wawasannya, terutama di
bidang jurnalistik. Adinegoro, memang, lebih dikenal sebagai wartawan
daripada sastrawan.
Ia
memulai kariernya sebagai wartawan di majalah Caya Hindia,
sebagai pembantu tetap. Setiap minggu ia menulis artikel tentang masalah luar
negeri di majalah tersebut. Ketika belajar di luar negeri (1926—1930), ia
juga menjadi wartawan bebas (freelance journalist) di surat
kabar Pewarta Deli (Medan), Bintang Timur,
dan Panji Pustaka (Jakarta). Setelah kembali ke tanah air,
Adinegoro memimpin majalah Panji Pustaka (pada tahun 1931.
Akan tetapi, ia tidak bertahan lama, hanya enam bulan. Sesudah itu, ia
memimpin surat kabar Pewarta Deli di Medan (1932—1942). Ia
juga pernah memimpin Sumatra Shimbun selama dua tahun.
Kemudian, bersama Prof. Dr. Supomo, ia memimpin majalah Mimbar
Indonesia (1948—1950). Selanjutnya, ia memimpin Yayasan Persbiro
Indonesia (1951). Terakhir, ia bekerja di Kantor Berita Nasional (kemudian
menjadi KBN Antara). Sampai akhir khayatnya Adinegoro mengabdi di kantor
berita tersebut.
Dua
buah novel Adinegoro yang terkenal (keduanya ditulis pada tahun 1928), yang
membuat namanya sejajar dengan nama novelis besar Indonesia, adalah Asmara
Jaya dan Darah Muda. Ajip Rosidi dalam buku Ikhtisar
Sejarah Sastra Indonesia (1982) mengatakan bahwa Adinegoro
merupakan pengarang Indonesia yang berani melangkah lebih jauh menentang adat
kuno yang berlaku dalam perkawinan. Dalam kedua romannya, Adinegoro bukan
hanya menentang adat kuno, melainkan juga dengan berani memenangkan pihak
kaum muda yang menentang adat kuno itu (yang dijalankan oleh pihak kaum tua).
Di
samping kedua novel itu, Adinegoro juga membuat novel lainnya, yaitu Melawat
ke Barat, yang merupakan kisah perjalanannya ke Eropa. Kisah perjalanan
itu diterbitkan pada tahun 1930.
Selain itu, ia juga terlibat dalam polemik kebudayaan yang terjadi sekitar tahun 1935. Esainya, yang merupakan tanggapan polemik waktu itu, berjudul “Kritik atas Kritik” terhimpun dalam Polemik Kebudayaan yang dieditori oleh Achdiat Karta Mihardja (1977). Dalam esainya itu. Adinegoro beranggapan bahwa suatu kultur tidak dapat dipindah-pindahkan karena tiap bangsa telah melekat tabiat dan pembawaan khas, yang tidak dapat ditiru oleh orang lain. Ia memberikan perbandingan yang menyatakan bahwa suatu pohon rambutan tidak akan menghasilkan buah mangga, dan sebaliknya.
KARYA Sastrawan Adinegoro:
a. Novel
1. Darah Muda (Batavia Centrum: Balai Pustaka, 1931) 2. Asmara Jaya (Batavia Centrum: Balai Pustaka, 1932) 3. Melawat ke Barat (Jakarta: Balai Pustaka, 1950)
b. Cerita Pendek
1. “Bayati es Kopyor” (Varia, No. 278, Th. Ke-6. 1961) 2. “Etsuko” (Varia, No. 278, Th. Ke-6, 1961)
3. “Lukisan Rumah Kami” (Djaja,
No. 83, Th. Ke-2, 1963)
4. “Nyanyian Bulan April” (Varia, No. 293, Th. Ke-6, 1963) |
Prof.
Dr. Sapardi Djoko Damono
Prof Dr Sapardi Djoko
Damono dikenal sebagai salah seorang sastrawan yang memberi sumbangan besar
kepada kebudayaan masyarakat modern di Indonesia. Salah satu sumbangan terbesar
Guru Besar Fakultas Sastra UI ini adalah melanjutkan tradisi puisi lirik dan
berupaya menghidupkan kembali sajak empat seuntai atau kwatrin yang sudah
muncul di jaman para pujangga baru seperti Amir Hamzah dan Chairil Anwar.
Pria kelahiran Solo,
Jawa Tengah pada 20 Maret 1940 ini, mengaku tak pernah berencana menjadi
penyair, karena dia berkenalan dengan puisi secara tidak disengaja. Sejak masih
belia putra Sadyoko dan Sapariyah itu, sering membenamkan diri dalam
tulisan-tulisannya. Bahkan, ia pernah menulis sebanyak delapan belas sajak
hanya dalam satu malam. Kegemarannya pada sastra, sudah mulai tampak sejak ia
masih duduk di bangku sekolah menengah pertama. Kemudian, ketika duduk di SMA,
ia memilih jurusan sastra dan kemudian melanjutkan pendidikan di UGM, fakultas
sastra.
Anak sulung dari dua
bersaudara abdi dalem Keraton Surakarta itu mungkin mewarisi kesenimanan dari
kakek dan neneknya. Kakeknya dari pihak ayah pintar membuat wayang—hanya
sebagai kegemaran—dan pernah memberikan sekotak wayang kepada sang cucu. Nenek
dari pihak ibunya gemar menembang (menyanyikan puisi Jawa) dari syair yang dibuat
sendiri. “Tapi saya tidak bisa menyanyi, suara saya jelek,” ujar bekas pemegang
gitar melodi band FS UGM Yogyakarta itu. Sadar akan kelemahannya, Sapardi
kemudian mengembangkan diri sebagai penyair.
Selain menjadi penyair,
ia juga melaksanakan cita-cita lamanya: menjadi dosen. “Jadi dosen ‘kan enak.
Kalau pegawai kantor, harus duduk dari pagi sampai petang,” ujar lulusan
Jurusan Sastra Barat FS&K UGM ini. Dan begitu meraih gelar sarjana sastra,
1964, ia mengajar di IKIP Malang cabang Madiun, selama empat tahun, dilanjutkan
di Universitas Diponegoro, Semarang, juga selama empat tahun. Sejak 1974,
Sapardi mengajar di FS UI.
Sapardi menulis puisi
sejak di kelas II SMA. Karyanya dimuat pertama kali oleh sebuah surat kabar di
Semarang. Tidak lama kemudian, karya sastranya berupa puisi-puisi banyak
diterbitkan di berbagai majalah sastra, majalah budaya dan diterbitkan dalam
buku-buku sastra. Beberapa karyanya yang sudah berada di tengah masyarakat,
antara lain Duka Mu Abadi (1969), Mata Pisau dan Aquarium (1974).
Sebuah karya besar yang
pernah ia buat adalah kumpulan sajak yang berjudul Perahu Kertas dan memperoleh
penghargaan dari Dewan Kesenian Jakarta dan kumpulan sajak Sihir Hujan – yang
ditulisnya ketika ia sedang sakit – memperoleh Anugerah Puisi Poetra Malaysia.
Kabarnya, hadiah sastra berupa uang sejumlah Rp 6,3 juta saat memperoleh
Anugerah Puisi Poetra Malaysia langsung dibelanjakannya memborong buku. Selain
itu ia pernah memperoleh penghargaan SEA Write pada 1986 di Bangkok, Thailand.
Para pengamat menilai
sajak-sajak Sapardi dekat dengan Tuhan dan kematian. “Pada Sapardi, maut atau
kematian dipandang sebagai bagian dari kehidupan; bersama kehidupan itu pulalah
maut tumbuh,” tulis Jakob Sumardjo dalam harian Pikiran Rakyat, 19 Juli 1984.
Bekas anggota Dewan Kesenian Jakarta (DKJ) ini juga menulis esei dan kritik. Sapardi, yang pernah menjadi redaktur Basis dan kini bekerja di redaksi Horison, berpendapat, di dalam karya sastra ada dua segi: tematik dan stilistik (gaya penulisan). Secara gaya, katanya, sudah ada pembaruan di Indonesia. Tetapi di dalam tema, belum banyak.
Penyair yang pernah kuliah di Universitas Hawaii, Honolulu, AS, ini juga menulis buku ilmiah, satu di antaranya Sosiologi Sastra, Sebuah Pengantar Ringkas. (1978).
Selain melahirkan puisi-puisi, Sapardi juga aktif menulis esai, kritik sastra, artikel serta menerjemahkan berbagai karya sastra asing. Dengan terjemahannya itu, Sapardi mempunyai kontribusi penting terhadap pengembangan sastra di Tanah Air. Selain dia menjembatani karya asing kepada pembaca sastra, ia patut dihargai sebagai orang yang melahirkan bentuk sastra baru.
Dengan kepekaan dan wawasan seorang sastrawan, Sapardi ikut mewarnai karya-karya terjemahannya seperti Puisi Brasilia Modern, Puisi Cina Klasik dan Puisi Parsi Klasik yang ditulis dalam bahasa Inggris. Selain itu dia juga menerjemahkan karya asing seperti karya Hemmingway The Old Man and the Sea, Daisy Manis (Henry James), semuanya pada 1970-an. Juga, sekitar 20 naskah drama seperti Syakuntala karya Kalidasa, Murder in Cathedral karya TS Elliot, dan Morning Become Electra trilogi karya Eugene O’neil.
Bekas anggota Dewan Kesenian Jakarta (DKJ) ini juga menulis esei dan kritik. Sapardi, yang pernah menjadi redaktur Basis dan kini bekerja di redaksi Horison, berpendapat, di dalam karya sastra ada dua segi: tematik dan stilistik (gaya penulisan). Secara gaya, katanya, sudah ada pembaruan di Indonesia. Tetapi di dalam tema, belum banyak.
Penyair yang pernah kuliah di Universitas Hawaii, Honolulu, AS, ini juga menulis buku ilmiah, satu di antaranya Sosiologi Sastra, Sebuah Pengantar Ringkas. (1978).
Selain melahirkan puisi-puisi, Sapardi juga aktif menulis esai, kritik sastra, artikel serta menerjemahkan berbagai karya sastra asing. Dengan terjemahannya itu, Sapardi mempunyai kontribusi penting terhadap pengembangan sastra di Tanah Air. Selain dia menjembatani karya asing kepada pembaca sastra, ia patut dihargai sebagai orang yang melahirkan bentuk sastra baru.
Dengan kepekaan dan wawasan seorang sastrawan, Sapardi ikut mewarnai karya-karya terjemahannya seperti Puisi Brasilia Modern, Puisi Cina Klasik dan Puisi Parsi Klasik yang ditulis dalam bahasa Inggris. Selain itu dia juga menerjemahkan karya asing seperti karya Hemmingway The Old Man and the Sea, Daisy Manis (Henry James), semuanya pada 1970-an. Juga, sekitar 20 naskah drama seperti Syakuntala karya Kalidasa, Murder in Cathedral karya TS Elliot, dan Morning Become Electra trilogi karya Eugene O’neil.
Sumbangsih Sapardi juga
cukup besar kepada budaya dan sastra, dengan melakukan penelitian, menjadi
narasumber dalam berbagai seminar dan aktif sebagai administrator dan pengajar,
serta menjadi dekan Fakultas Sastra UI periode 1995-1999. Dia menjadi penggagas
pengajaran mata kuliah Ilmu Budaya Dasar di fakultas sastra.
Dia menyadari bahwa
menjadi seorang sastrawan tidak akan memperoleh kepuasan finansial. Kegiatan
menulis adalah sebagai waktu istirahat, saat dia ingin melepaskan diri dari
rutinitas pekerjaannya sehari-hari. Menikah dengan Wardiningsih, ia dikaruniai
dua anak, Rasti Suryandani dan Rizki Henriko.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar