Tiara
:
Seorang remaja berparas ayu duduk bersandar menatap
sebuah pohon yang mulai menguning dan beranjak kering kemudian segera gugur dan
mati.
Seperti
hidupku, sekalipun aku sedang sakit, aku masih ingat dengan perkataanku yang
sering aku ucapkan dalam hati yang berkali – kali aku katakan “Kelak aku akan
lebih dulu pergi dari kalian” alias “Mati Muda” kataku dalam hati. Aku mencoba
untuk tegar menjalani sebuah kehidupan ini. Meski sakit yang aku alami saat ini
tidak dapat aku tahan lagi, penyakit yang selalu saja menghantui aku akan
sebuah kematian.
Aku tidak ingin orang yang berada disekitarku mengetahui
tentang penyakit yang aku alami sekarang. Sempat terucap kata – kata yang
sering aku ucapkan dalam hatiku kepada salah satu teman lelakiku, yang
bertinggal tidak jauh dari tempat kostk ku, Dafa, teman 1 kampusku.
Dia
selalu saja mengunci mulutku, memutus kata – kataku yang menurutnya tidak
pantas untuk aku katakan. Dafa, juga pernah menampar pipi kiriku ketika lagi –
lagi aku mengulang kalimatku tentang kematian itu.
Aku berfikir mungkin dia sudah tidak bisa sabar
menghadapiku atau dia terlalu takut jika kematianku itu benar – benar terjadi
padaku secepat ini. Aku juga tidak tahu apa yang ada dihatinya sekarang.
“Daun
itu akan gugur dan kemudian akan mati, seperti diriku yang tak lama lagi akan
pergi meninggalkanmu Fa” kataku kepada Dafa teman 1 kampusku.
“Kamu
bicara apa sih tiara, maksud kamu bicara sperti itu apa Ra?” kata Dafa.
Aku
terdiam sejenak dan kemudian aku tertawa, meski aku tidak tahu apa yang harus
aku katakan jika Dafa bertanya kenapa aku tertawa.
Aku
coba untuk tersenyum dan tertawa karna aku tidak ingin Dafa berfikir tentang
aku yang bukan – bukan.
Saat
itu aku berada disampingnya duduk berdua dihalaman kampus kami dibawah pohon
yang rindang. Aku berusaha mencari topik pembicaraan yang lain agar dia tidak
terlalu curiga dengan perkataaku tadi.
“Kita
kekantin aja yuk !” kataku dengan singkat.
“Ya
sudah ayo, aku juga lagi lapar Ra”. Kata dafa yang duduk berhadapan. Dafa yang
menatapku penuh dengan keseriusan yang buat aku bingung. Aku hanya berdoa
semoga dia tidak curiga kepadaku.
“Dafa,
kenapa kau menatapku seperti itu? Ada yang aneh dari penampilanku hari ini !”
kataku yang akan memulai pembicaraan.
“Tidak
Ra, tidak ada yang aneh dari kamu!
“Terus
kenapa kau menatapku seperti itu?”
“Eeeeemmmm...
aku bangga aja punya teman seperti kamu. Uda pintar, cantik, rajin, baik, tidak
sombong lagi”.
“Ah...
lebay kamu Fa”.
“Beneran
lagi Ra, ya udah yuk makan laper.... !!”
Kami
mulai makan yang sebelumnya sudah kami bercanda tawa disebuah waktu berlalu
dengan cepat, setelah kami bercanda tawa disebuah kantin tempatku berkuliah
waktu yang memutus pembicaraan kami.
Kami
pun bersama ke kosan kami tinggal.
Keesokan
harinya, aku tidak dapat masuk kuliah karena penyakit yang aku alami kambuh
kembali. Aku beristirahat dikamarku, aku tidak sanggup menahan rasa sakit ini. Penyakit
yang selalu menggrogoti otak ku. Dokter sudah
mengatakan hidupku hanya bergantung kepada obat – obatan juga selang infus yang
terus menempel ditanganku. Aku menderita “Kanker Otak” yang sudah bertahun aku
rasakan, dan sudah mencapai stadium akhir.
Aku masih belum berani untuk mengatakannya kepada Ayahku
juga keluargaku yang lain. Apalagi kepada Dafa temanku yang paling dekat
denganku. Aku dapat menyembunyikannya penyakit ini karena aku jauh dari
keluargaku, aku pergi ke kota untuk menlanjutkan sekolahku ke perguruan tinggi.
Sedangkan Ayahku hanya dikampung tempatku dilahirkan. Aki tidak bernai
mengatakan kepada mereka, aku tidak ingin merepotkan dengan keadaanku yang
seperti ini. Aku tidak ingin mereka merasak kesedihanku. Cukup hanya aku yang
mengetahuinya.
Sebuah handphone yang aku letakkan disamping bantalku,
berbunyi aku melihat ternyata Dafa yang menelfonku. Aku membiarkan handphoneku
tetap berbunyi hingga berpuluh – puluh kali Dafa menelfonku. Nafasku terpatah –
patah, aku merasa sangat lelah. Seperti seorang perempuan renta yang sedang
menunggu masa tutup usia. Aku hanya berbaring dan berbaring ditempat tidurku. Berjalan
hanya dalam khayal yang sesungguhnya kedua kakiku tidak dapat melangkah
kemanapun. Rosa takut selalu menghantuiku akan sebuah kematian tapi ini
perjalanan hidup yang harus aku lalui.
Aku
sudah pasrah jika nafasku hanya terhenti sampai disini, meski aku harus
meninggalkan orang – orang yang menemaniku menjalani sebuah kehidupan. Saat itu
aku tidak berani memejamkan mataku, aku takut tidak dapat bangun kembali
melihat isi dunia ini. Mataku masih menampung sekian banyak butiran – butiran bening
yang belum mendapat giliran untuk tumpah.
Aku mencoba mengambil obat – obatku yang terletak
disebuah menja kecil yang berjarak tidak jauh dariku. Aku berusaha minum obat
itu dan berusaha untuk lari dari penyakit ini. Sehari telah aku lewati meski
aku hanya dapat berbaring disebelah tempat tidur yang sudah rapuh. Malam telah
datang kembali menyelimuti hatuiku. Aku masih juga belum bisa memejamkan
mataku, tidak ada suara apapun yang aku dengar malam itu seekor jangkrik pun
tidak mengeluarkan suaranya. Hingga malam itu terasa sangat sunyi dan sepi,
hanya suara jam yang menghantarkan waktu perjalanan dibumi ini. Jam menunjukkan
pukul 02.00 Wib. Sekian lama akhirnya mataku terpejam dengan sendirinya.
Untunglah
esok harinya aku masih dapat melihat dunia ini.
Dafa
datang ke kost ku dengan sepeda motornya yang berwarna biru, mencoba
menjemputku untuk berangkat ke kampus. Aku belum bisa ke kampus hari ini,
nafasku masih terpatah – patah, kepala yang ingin pecahnya rasanya. Dafa mengetuk
pintu kost ku ketika aku ingin membukakan pintu, ibu kost ku datang menemui Dafa.
“Nak
Dafa sepertinya nak Tiara tidak ada sejak semalam, pintu kamarnya tidak terbuka
sedikitpun mungkin dia pulang ke kampung halamannya ada keperluan lain” kata
ibu kost itu.
“Apa
Tiara tidak ada pamit dengan ibu?”
“Tidak
nak dafa, tiara tidak ada pamit kepada ibu mungkin dia buru – buru nak?”
“Tidak
biasanya tiara seperti ini (menggumam) oh ya sudah bu terima kasih atas
informasinya, saya permisi dulu”
“Ia
nak”.
Aku tidak jadi membukakan pintu dan menemui dafa, aku
kembali berbaring ditempat tidur. Beberapa jam aku berbaring aku mencoba untuk
keluar kamar. Baru beberapa langkah aku berjalan aku terjatuh dan tidak
sadarkan diri. Ibu kost ku lah yang membawaku kerumah sakit dan dari situlah
semua kebohonganku yang aku sembunyikan selama ini pada semua orang terbongkar
sudah. Mereka sudah mengetahuinya, aku mencoba memanggil dafa yang duduk disofa
menemaniku dirumah sakit. Tapi suaraku tersumbat ditengggorokanku yang kering,
aku ingin minum air lewat mulutku tetapi hanya selang infuslah yang terus
menerus menembus tangan kananku selama ini. Akhirnya, Dafa menoleh ke arahku
dan mendekatiku.
“Kita
akan bertemu lagi ditempat yang kita sebut kehidupan. Hanya saja situasi yang
sangat berbeda, kita masih seusia, tetapi kita tidak bisa dikatakan sebagai
seorang dewasa, bicara kita masih tidak tertata rapi, kesana kemari khas bahasa
anak – anak zaman sekarang. Semua sangat berbeda dengan apa yang pernah kita
berdua tertiupkan ke alam ini. Perjalanan hidupku yang terhenti disini” kataku
dengan nafas yang terpatah – patah.
Aku terlanjur tertidur, dan aku bermimpi.
Ibuku
berdiri dalam nuansa yang lembut, namun berkesan asing bagiku. Aku mencoba
memanggilnya tetapi suaraku tersumbat di tenggorokkan. Ibuku berdiri didalam
kesunyian tanpa ada orangpun yang menemani ibuku.
Ibuku
berdiri ditempat yang sunyi seolah tidak melihat kehadiranku disini, barang
kali debur rindu didadaku yang membuncah yang cukup keras untuk menjadi tanda
keinginanku untuk bertemu dengannya?
Aku
merindukan pelukkan seorang ibu!
Akhirnya, Tiara seorang gadis yang mencoba untuk tegar
tertidur untuk selama – lamanya dalam pelukkan Dafa, teman yang paling dekat
dengan Tiara.
“Kini
kau telah meninggalkanku sendiri, dengan kebohonganmu yang buat aku kecewa
tiara, aku ingin mengatakan padamu bahwa aku selama ini mencintaimu.” Kata dafa
yang selalu meneteskan air dari wajahnya.
“Selamat
Jalan My Princes!” L
*PERGI UNTUK SELAMA – LAMANYA*
SELESAI
____ooOOoo____